Minggu lalu bertebaran newsfeed facebook tentang
artikel Ustadz Ahmad Sarwat, yang menekankan bahwa istri bukan pembantu rumah tangga. Memang terkesan sadis pilihan kata-katanya, dan dari berbagai tanggapan para wanita, terutama yang sudah menjadi istri, seolah-olah tidak terima dengan cap pembantu rumah tangga tersebut. Sudah capek seharian mengurusi pekerjaan rumah tangga, mengasuh anak, eeh masih dapat label seperti itu pula. Apalagi dalam artikel tersebut juga ada kalimat sbb:
Jumhur ulama sepakat bahwa satu-satunya kewajiban seorang istri dari akad nikah itu semata-mata hanya memberikan pelayanan seksual kepada suami.
Semakin membuat para istri merasa hanya dianggap sebagai pelampiasan nafsu suami. Tetapi tunggu dulu, benarkah sesederhana itu kewajiban istri atau benarkah hanya sebatas itu kewajiban istri?
Diskusi di grup liqo WA yang saya ikuti, membuka hati dan pikiran saya bahwa tidak sesederhana itu memahami dan memaknai kewajiban memberikan pelayanan seksual kepada suami. Berikut ini penjelasan dari teh Patra:
Wajib berarti jika dikerjakan mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan hukumnya adalah dosa. Kenapa kewajiban istri hanya pemenuhan seksual suami? Karena satu-satunya kebutuhan laki-laki yang hanya bisa dipenuhi dengan menikah adalah kebutuhan seksual. Kebutuhan mendapatkan makanan enak, mencuci baju, melihat rumah dalam keadaan bersih dan wangi bisa mereka lakukan sendiri ketika para laki-laki belum menikah. Setelah menikah, kebutuhan-kebutuhan tersebut bisa didelegasikan kepada orang lain, sedangkan kebutuhan biologisnya hanya bisa disalurkan kepada istrinya.
Berbeda dengan wanita, laki-laki yang kebutuhan biologisnya tidak tersalurkan, akan mengganggu ibadahnya. Bahkan bisa menggiringnya pada dosa besar jika sampai berzina dengan selain istrinya, naudzubillah. Bayangkan betapa menderitanya suami yang tidak terpenuhi kebutuhan biologisnya oleh istri. Sudah berletih-letih bekerja seharian, uangnya dihabiskan oleh keluarga, eeh kebutuhannya malah tidak terpenuhi. Kalau hanya ingin medapatkan rumah rapi, bayar pembantu bisa, ingin baju bersih dan wangi, bayar laundry kiloan bisa, ingin makanan enak, bisa beli kapan pun.
Dalam islam, zina itu haram, hukumannya rajam. Bahkan harus menundukkan pandangan dengan lawan jenis. Kewajiban istri adalah menyediakan semua kebutuhan itu dan halal, agar suami tidak terjerumus zina. Harus selalu siap kapanpun dibutuhkan oleh suami. Kata Rasulullah, seorang laki-laki yang tergoda di jalan hendaklan segera pulang dan menemui istrinya, nah tentunya bukan untuk membantu cuci piring kan? :-)
Hal inilah yang banyak tidak dimengerti oleh kaum istri, yang akhirnya berujung pada perselingkuhan dan perceraian :-(. Istri sibuk mengurusi kebutuhan rumah tangga, ketika suami butuh tidak bersedia melayani dengan alasan lelah. Lalu suami harus bagaimana? Bersabar?
Jadi frame kewajiban ini harus diketahui para istri, kewajiban ini adalah prioritas utama. Selanjutnya, masak enak, rumah rapi, baju wangi dan bersih, pekarangan indah berbungan hanyalah bumbu cinta. Jika dikerjakan akan mendapatkan tambahan pahala yang Allah sediakan untuk para istri sholihah. Semua itu dikerjakan hanya untuk menambah rasa cinta dalam rumah tangga, sekaligus bisa menambah mood dalam bercinta dengan suami. Berbeda dengan anak, istri diibaratkan sebagai biaya, karena suami berkewajiban menanggung seluruh kebutuhan hidup istri sejak akad nikah diucapkan, sedangkan anak adalah aset, investasi bagi orangtuanya apalagi anak yang sholeh/sholehah.
Jika suami dapat pemenuhan kebutuhan biologisnya tanpa harus menikah, tentunya mereka akan bersuka cita, ibaratnya bisa makan sate tanpa harus memelihara kambingnya, pada akhirnya makin lama pernikahan semakin dianggap tidak penting.
Selain yang disampaikan oleh teh Patra diatas, juga ditambahkan oleh Elma sebagai berikut:
Urusan rumah tangga adalah tentang memenuhi kebutuhan, bukan hubungan ordinat dan subordinat. Kata melayani suami dalam islam, konteksnya adalah di kamar. Lantas kenapa seringnya istri menyediakan segala kebutuhan suami? Paradigma yang tepat adalah bagi tugas antara suami dan istri, bagi istri karena istri mencintai suami, she want to make everything easier for him (husband). Terlebih lagi suami sudah berlelah-lelah menyediakan kebutuhan sekeluarga, uang suami adalah uang keluarga. Uang istri adalah milik istri sendiri. Suami harus siap dihisab atas kesalahan anak dan istrinya, sementara istri dan anak tidak perlu menanggung hisab atas kesalahan suaminya.
Jadi ini tentang bagi tugas dalam memenuhi kebutuhan keluarga dan ekspresi cinta untuk masing-masing pasangan. Ini tentang bermain secara tic tac, mana yang dioper sebagai tugasmu, mana yang dioper sebagai tugasku. And together we will reach our main purpose, mendapat ridha Allah swt.
Mengingatkan pada kisah Fatimah Az Zahra, dimana Fatimah meminta khadimat (pembantu rumah tangga) kepada Rasulullah SAW yang baru saja pulang dari perang dan membawa tawanan perang, yang biasa diperbantukan sebagai budak. Fatimah pun memintanya atas persetujuan Ali bin Abu Thalib R.A, dan Rasulullah menolak permintaan tersebut. Beliau mendatangi keduanya, melihat sendiri bagaimana kondisi mereka yang teramat sangat sederhana. Alas tidur hanya tikar, selimut hanya bisa menutup sebagian tubuh, dan kondisi memprihatinkan lainnya. Lalu Rasulullah SAW bersabda: "Maukah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang lebih berharga dari apa yang kalian minta? Jika kalian akan tidur maka bacalah tasbih sebanyak tiga puluh tiga, tahmid tiga puluh tiga dan takbir tiga puluh empat kali. Maka itu akan lebih baik bagi kalian dari seorang budak". Sabda Rasulullah tersebut diturunkan setelah sebelumnya Fatimah mengadu kepada ayahnya tentang beratnya pekerjaannya dalam menggiling gandum, dan berharap Rasulullah akan memberikan khadimat untuknya.
Pahala istri dalam mengurus rumah tangga dan merawat anak sangat besar, jadi para istri seharusnya bisa menempatkan diri sesuai kemampuan suami, tidak memaksanya untuk memenuhi kebutuhan yang memang belum mampu dipenuhi oleh suami.
Jadi para istri, ga perlu jadi meradang dengan artikel tersebut, sekaligus jangan mencari-cari pembenaran untuk tidak mau melakukan pekerjaan rumah tangga alias bermalas-malasan karena seolah mendapat dukungan untuk tidak mengerjakannya. Karena keduanya mendapatkan ganjaran pahala dari Allah.