Di grup liqo virtual yang saya ikuti (disebut virtual karena lewat whatsapp, he..he..he..), sedang rame curhat tentang kondisi pribadi masing-masing yang sering merasa tidak maksimal dalam mengerjakan semua pekerjaan, ya pekerjaan rumah tangga ya pekerjaan di luar rumah (bagi yang mom preneur ataupun yang karyawan perusahaan). Apalagi jika kondisi badan dan pikiran sedang lelah, mengasuh anak dan melayani suami tidak optimal.
Jargon bahwa seorang wanita yang sudah berumah tangga dan mempunyai anak, haruslah menjadi
multi tasking mom, dimana segala sesuatu harus bisa dikerjakan sendiri sampai beres dan tepat waktu agar pekerjaan lain yang sudah menunggu tidak tertunda, sehingga sampai mengorbankan waktu untuk mengistirahatkan diri sendiri, dan ujung-ujungnya terbawa emosi ketika menghadapi tingkah polah bocah yang aktif karena sang ibu lelah fisik dan mental, dirasa tidak tepat bagi kami (saya dan teman-teman di grup liqo). Kenapa? Nah jawabannya ada dibawah ini.
(Note: saya hanya merangkumkan kata-kata teman-teman saya, karena jika saya tulis ulang, khawatir akan ada salah persepsi dan mengurangi makna yang disampaikan oleh teman saya tersebut.)
Jetc
says :
Saat kita mencoba lebih tenang, rasanya segala persoalan lebih enteng. Seringkali di saat saya "melepas" (maksudnya melepas emosi) segalanya, setelahnya menyesal. Di lain waktu saya coba lebih tenang, rasanya lebih ringan. Bukan menghindari masalah, tapi lebih ke menenangkan diri sebentar lalu dipikirkan bagamana langkah selanjutnya. Baru setelahnya action penyelesaiannya. Ternyata kalau kita niatkan bisa *cobalah!*.
Tapi ya lagi-lagi, masalah ibu ibu itu merasa selalu DIBURU BURU atau merasa bisa selalu
MULTITASKING. Padahal sebenarnya kita itu manusia biasa.Jadi saya kadang merasa, "
Ok, please stop always feeling can do it all, I'm not superwoman, theres no superwoman in this real world.just accept it" =D.
Kadang menunda penyelesaian dampaknya bisa jadi lebih baik. Its just a matter of time. Karena dengan kita memberikan waktu lebih luang untuk diri kita sendiri, menjadikan segalanya bisa jadi lebih tenang dan terkendali. Dan yg perlu diingat, hal tersebut dilakukan bukan semata mata demi orang lain, tapi juga untuk diri kita sendiri. Saya percaya, lebih tenang = lebih sehat = lebih bahagia.
Elma
says:
Why do we need to be in a rush? Lakukan semua satu per satu. Nanti juga selesai. Kalau ngga tenang dijamin ngga akan ada yang bener kerjaannya. Saya sampai mikir, istri-istri Rasulullah juga ngga ada yang super segala dikerjain. Fatimah pun mengerjakan semua satu-satu. Yang penting keep aware. Dan selalu kita dengar ibu yang hebat itu yang bisa melakukan semuanya sendiri. Saya sangat ngga setuju kalimat ini. Tiap ibu kan beda-beda. Amanahnya beda-beda. Karakternya beda-beda. Lakukan saja yang memang diamanahkan padamu sesuai kemampuanmu.
Dan namanya wanita pasti dipusingkan penilaian orang lain. Jadi saya ngga pernah suka ibu-ibu dibanding-bandingkan. Ngga adil dan ngga membantu. Kalau A stress dengan kerjaannya jadi ibu, sementara B tampak hebat-hebat aja, ya itu karena pelajaran untuk mereka berdua memang tidak sama. Modal kekuatan mereka juga tidak sama.
Dan subhanallah dipasangkan dengan suami yang karakternya di-pas-kan oleh Allah. Dikasih anak yang karaktetnya juga di-pas-kan.
The right mom for the right child.
Kalau ada desakan utk meledak,
please be know that you are normal.
Perfectly normal. Tidak sedikit pun mengurangi keutamaan menjadi ibu. Surga sudah di telapak kakimu.
It's just the matter of process .... Ikhlas saja menerima bahwa saya memang mengalami ini. Inshaa Allah, Allah juga akan tunjukkan cara menanganinya. Bisa lewat teman-lewat disini, bisa lewat suami, atau langsung Allah kasih tau ketika kita berdoa.
Karena yang me-mampu-kan kita jadi ibu, BUKAN kita, tapi Allah SWT.
Love your self, forgive your own mistakes, and accept the process. Sesungguhnya semua manusia sedang diproses oleh Allah sampai menjadi siap menuju Nya. Dan inilah proses kita. Unik di setiap orang. Kalau ibu terus belajar menjadi dirinya yang lebih baik, anak juga akan melihat dan mencontoh, "oh ternyata hidup itu proses belajar toh". Ibu juga pernah salah, lalu ibu memaafkan dirinya sendiri, minta maaf ke orang lain, lalu belajar melakukan cara baru.
So, now I know how to live my life.